Site icon Denai Cahaya Malam

Toxic Positivity, Kata-kata penyemangat yang menyesatkan

Di masa pandemi yang serba sulit ini dimana banyak orang mengalami PHK, pemotongan gaji, hingga dirumahkan tanpa gaji membuat sebagian besar masyarakat mengalami masalah yang serius. 

Toxic positivity kerap dianggap baik padahal menyesatkan

Mungkin kamu sering mengeluh dengan keadaan kamu ini pada keluarga atau teman, namun bukannya mendapat solusi kamu malah disuruh untuk tetap berpikir positif, mensyukuri keadaan yang kurang beruntung tersebut dengan membandingkan keadaan orang lain yang jauh lebih tidak beruntung. 

Sekilas nasihat itu terdengar melegakan tapi bila kamu terus mengeluh keadaan yang sama dan memang sulit menemukan solusinya. 

Ajakan positive thinking ini hanya akan menguap dan kamu tidak mendapat ketenangan dari itu. Nah itulah biasanya yang dinamakan toxic positivity. 

Lalu apa itu toxic positivity? Dilansir dari Ekrut.com, toxic positivity adalah budaya yang menyarankan kamu untuk selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang positif apapun yang terjadi. 

Baca juga: Cara mengelola stres di pekerjaan dengan baik

Sementara menurut situs healthline.com toxic positivity adalah asumsi positif yang berasal dari diri sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir positif, meski mereka mengalami penderitaan emosional dan situasional. 

Dalam pandangan toxic positivity, emosi negatif dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Sementara respon untuk berpikir positif dianggap sebagai sesuatu yang baik. 

Padahal manusia juga harus memiliki pemikiran yang sedikit negative guna mendatangkan respon kewaspadaan mana kala situasi terburuk benar-benar dialami sekaligus oleh kamu dalam situasi itu. 

Selain itu, jika kamu terus mengubur doktrin-doktrin emosi negatif ini maka lambat laun kamu bisa mengalami stres berkepanjangan. 

Beberapa doktrin toxic positivity yang sering kali diucapkan atau dipraktekkan di antaranya: 

  1. Udah jangan dipikiran, stay positive thinking aja”. Padahal dari pada seseorang berbicara begitu, lebih baik ia menawarkan solusi yang pasti, contoh “Kamu kenapa? Yuk ngobrol aku dengerin”. 
  2. “Udah jangan terlalu khawatir, semangaat ya”. Ungkapan ini juga termasuk toxic positivity. Padahal bisa aja seseorang itu bilang, “Aku tahu kamu benar-benar khawatir atau stres, apa kira-kira yang bisa aku lakuin buat ngebantu kamu?”
  3. “Kalau aku bisa ngelakuin itu, pastinya kamu juga bisa”. Sadar ga sih kalau ungkapan ini termasuk toxic positivity? Padahal seseorang tersebut sebelum mengucapkan itu harus tahu bahwa kapasitas dan kemampuan tiap orang itu berbeda-beda dan tidak akan selalu sama. 

Lalu gimana sih solusinya saat kamu menerima ungkapan toxic positivity dari orang lain atau bahkan dirimu sendiri? 

Cara terbaik untuk menerima ungkapan toxic positivity itu adalah dengan menerima semua bentuk emosi negatif yang diterima oleh diri kita sendiri apapun bentunya, baik itu kekecewaan, kekesalan, kesedihan, menangis karena semua emosi negatif itu adalah wajar dimiliki oleh setiap manusia. 

Kamu bukanlah robot yang bisa di setting untuk selalu berpikir baik dalam keadaan yang sulit, karena kamu adalah seorang manusia yang memiliki hati untuk mencerna perasaan. 

Jika suatu keadaan mengharuskanmu untuk merunduk sebentar sebagai bentuk tangisan, atau kesedihan. Tak apa lakukan itu, kamu tidak akan dipandang hina karena hal itu. Namun selepas tangisan itu tentunya kamu perlu bergegas mengontrol lagi diri agar bisa tegap dan berani menghadapi masalah. 

Baca juga: Hal penting yang harus kamu tahu tentang Virus Corona

Menerima emosi negatif menjadi bagian dari mencintai diri sendiri lho. 

Oh iya bila kamu tidak mendapat ketenangan dari solusi yang diberikan orang lain karena mereka melakukan toxic positivity, kamu juga bisa melampiaskan emosi negatif itu ke dalam bentuk yang lebih konstruktif seperti menggambar, menulis puisi, atau diary. 

Beberapa platform tersebut bisa menjadi perantara apa yang kamu rasakan selama ini. 

Exit mobile version