Di zaman global ini, hegemoni terlihat dari berbagai bentuk keadaan dan kondisi. Tidak hanya ruang lingkup politik saja tetapi merambah dalam pembahasan media. Tak heran jika sekarang ini media dengan halus dapat memanipulasi informasi, menyebarkan dan membesar-besarkannya. Sehingga apa yang dianggap penting oleh media akan dianggap penting pula oleh masyarakat.
Dengan sangat cerdas memanfaatkan kedekatan dan kemudahan informasi inilah, media menjalankan agenda settingnya. Khalayak bisa menilai dari berpuluh-puluh media tv misalnya, mana yang tidak berimbang memberikan informasi?. Tapi kebanyakan khalayak tidak menyadari ini lalu menelan informasi begitu saja.
Di Indonesia sudah lumrah melihat direktur utama televisi bergabung dengan partai politik. Sehingga dari media yang dia punya secara tidak langsung dapat mendongkrak popularitas sosoknya sekaligus partai politiknya. Patutlah jika kini keberimbangan informasi di media mulai tergerus ke netralannya.
Kita tahu rumah politik merupakan ruang yang sarat dengan berbagai macam kepentingan. Dan tiada lain adalah kekuasaan. Kini berangasiapa yang menguasai media dan berpartner dengan partai politik maka setidaknya dia telah melebarkan kekuasaannya. Mari kita melihat ke belakang, jika pada zaman orde baru siaran televisi TVRI sangat mendominasi pemberitaan khalayak, tetapi kini beralih issu bahwa pemilik media tv swasta yang mendominasi pemberitaan.
Apalagi jika kita perhatikan chanel televisi yang berlabel televisi berita. Betapa tidak, mereka sangat terlihat sekali kompetisinya. Tapi, ternyata walaupun mereka teramasuk pada televisi berita namun, kenyataannya objektifitas beritanya sangat di ragukan. Kenapa? Karena pemilik modal dari televisi itu sudah masuk kedalam ranah perpolitikkan, sehingga beritanya sendiri terkadang menjadi tameng pencitaraan tokoh politik tersebut.
Etika wartawan dalam mengangkat berita pun kini sudah banyak keluar dari norma etika pers. Terutama bagi para pekerja pers yang bekerja di media tv berita tersebut. Karena sesungguhnya setiap hari haruslah ada 1 berita tentang objek sosok pemilik media tersebut. Mau itu ada hubungannya dengan berita lain ataupun tidak. Pernah saya melihat kasus dimana pemilik MNC Tv Hari Tanoesodibyo di kritik oleh KPI karena memberitakan tentang partai Hanura special siaran di tv tersebut. Sehingga ini nampaknya tidak terlihat etis dan penting.
Sedemikian pentingnya media dalam dunia politik sehingga menurut ahli komunikasi Manuel Castells berkesimpulan politik dapat diartikan politik media. Dalam artikel “ Hierarki Politik Media”, Dedi Kurnia Syah Putra menulis, hal yang paling krusial dalam industri media saat ini adalah kepemilikan. Ia menyebutkan bahwa Indonesia telah memasuki fase liberal media yang memungkinkan siapapun pemilik modal besar dapat menguasai bisnis media (Media dan Komunikasi Politik, 2011).
Setelah di bukakannya keran reformasi pada tahun 1999, perkembangan media di Indonesia memang sangat menjamur seperti di musim hujan. Tetapi nampaknya ini tidak diimbangi dengan peraturan pemerintah mengenai aturan kepemilikan media tersebut. Setiap pengusaha media di negeri ini bebas memilki berapapun media informasi dari berbagai macam bentuknya, mulai dari cetak, elektronik hingga online.
Pantaslah jika mereka yang memiliki modal besar dan memilki antusiasme politik yang tinggi sangat memanfaatkan potensi ini. Sehingga kini seolah-olah media adalah kendaraan tunggangan dari partai politik mereka.Keadaan ini tidak dapat di biarakan begitu saja. Media sebagai kekuatan ketiga masih menjadi kekuatan yang besar harusnya!
Apalagi mengingat media sebagai sosial control, harusnya media yang bisa mengkritik para penguasa media tersebut, agar mereka tidak rakus dalam kepemilikan media. Tapi bagaimana jika harusnya wartawan sebagai pengkritiknya malah bekerja untuk pengusahanya tadi? Tentu manfaat dari sosial control ini hanya sebatas argumen.
Dalam kehidupan bermasyarakat, segala bentuk ketidakberimbangan akan menjadi masalah. Yang terjadi harusnya media menjadi bagian mempromosikan negeri ini hingga ke luar negeri. Tentang prestasi, keindahan alamnya, kebesaran budaya dan masyarakatnya. Tapi kini, yang dapat kita saksikan di tv hanyalah pertengkaran argumen diantara para politikus Indonesia yang mulai bejad, dengan segala kasusnya.
Masyarakat nampaknya sudah mulai bosan dengan segala pemberitaan yang bertema “Bad News is Good News”. Yang tiada lain banyak mengangkat kasus tentang politik di Indonesia. Tahukah bahwa itu semua dapat menimbulkan rasa malu atas negeri sendiri? kita bisa melihat jika 20 tahun mendatang pemberitaan ini masih dibiarkan, maka rasa kebanggaan terhadap negeri sendiri akan memudar. Seiring buruknya pemberitaan yang diangkat ke muka umum.
Hingga pada akhirnya saya mennganggap bahwa berita yang di siarakan oleh media sama saja seperti sinetron. Yang angle ceritanya itu dapat di ubah sesuai dengan keinginan sutradara. Padahal dalam dunia jurnalistik, memberitakan hal yang bohong adalah kesalahan yang sangat fatal. Karena sudah melanggar etika seorang jurnalis. Khalayak harus waspada dalam memilih berita, karena kini unsur dari berita bukan lagi objektifitas tapi, unsur kepentingan.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat? Tiada lain selalu berusaha menjadi penonton yang cerdas. Cerdas dalam memilih dan memilah program yang akan ditonton. Matikan tv atau pindahkan chanel dan laporkan jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh media tersebut. Selain itu, bagi pemerintah agar lebih tegas tentang peraturan kepemilikan media. Meski kita sudah reformasi, tetapi jangan sampai kita terlalu jauh menjadi bagian dari liberalisasi media. Karena percaya atau tidak sekarang ini adalah bagi siapa yang menguasai media maka dia menguasai pemberitaan. Nurlailla kamil

Seorang penulis yang telah berkecimpung dalam bidang ini selama lebih dari lima tahun.
Saat ini kegiatan saya tidak hanya sekedar menulis, tapi juga sedang mendalami tentang SEO (Search Engine Optimization) serta membangun situs ini agar bisa lebih berkembang.