Detik jam di tangan saya hampir menunjukkan pukul 12.00. Di sambut dengan alunan adzan dzuhur saya sampai di terminal dago. Dengan perjalanan cibiru-dago yang sangat melelahkan. kemacetan di sekitaran gasibu, telah menelan waktu tempuh saya sekitar 2 jam lebih. Yang normalnya hanya 1 jam saja. Siang itu saya memang menuju sebuah tempat di sudut lain kota dago. Curug dago namanya. Yang letaknya tak seberapa jauh dari terminal.
Curug yang terletak di Desa Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung ini, memang belum banyak masyarakat yang mengetahuinya. Dibandingkan dengan curug dago, obyek wisata dago pakar lebih familiar. Padahal ada suatu hal yang membuat curug ini unik yaitu penemuan prasasti hasil peninggalan raja thailand yang sempat berkunjung ke curug dago pada tahun 1818 M.
Memilki ketinggian sekitar 12 meter. Curug ini terbentuk dari aliran sungai Cikapundung yang mengalir dari Maribaya memasuki kota Bandung. Lokasinya memang cukup tersembunyi, di daerah Bukit Dago kawasan Taman Hutan Raya (THR) Ir H Djuanda, Bandung, sehingga ditunjang dengan promosi yang kurang. Tak heran menyebabkan curug ini kian jarang dikunjungi wisatawan.
Tak jauh dari terminal, perjalanan menuju curug dago saya tempuh dengan berjalan kaki. menuruni jalan raya yang cukup curam di temani dengan pemandangan bukit-bukit serta perumahan diatasnya tak membuat saya berpasrah diri. Saya sangat menikmati perjalanan ini. Semilir angin dingin pun menyambut saya memasuki kawasan perbukitan dago siang itu.
Setelah menuruni jalanan yang curam, di sampingnya kita akan melihat gang kecil dengan terdapat papan bertuliskan “Prasasti Curug Dago”. berjalan sekitar 200 meter dari sana maka sampailah di tempat yang di tuju. Namun, berbeda dengan obyek wisata yang lain curug dago memang terlihat lebih sepi dari pengunjung. Padahal, saat itu saya datang pada hari Minggu. Yang saya lihat hanyalah sekelompok murid pramuka yang sedang bermain games. Dan selebihnya muda-mudi remaja.
Berjalan menuju pusat air terjun, tinggal menuruni beberapa anak tangga saja tetapi, masyakarat disana memperingatkan bahwa telah terjadi longsor beberapa bulan yang lalu sehingga akses jalan menuju air terjun tertutup rerimbunan pohon. Selain tidak terlalu di kenal, ternyata obyek wisata ini juga tidak terlalu di perhatikan oleh pemerintah.
“ah,, ieu ge ntos 3 bulan di laporkeun ka pemda masalah longsor teh, tapi teu acan aya tindak lanjutna”, ujar ibu sumi salah seorang penduduk yang berdagang di sana. Dia pun menambahkan bahwa untuk tiket karcis biasanya akan ditagih dan biasanya juga di gratiskan. Jika di tagih maka, biaya masuk karcisnya sekitar Rp 8000 sekaligus tiket masuk karcis menuju dago pakar.Walaupun masih jarang di kenal, tetapi banyak juga wisatawan luar kota yang mencoba berarum jeram disini. Karena arus airnya cukup deras serta di hiasi dengan batuan-batuan besar sehingga cocok untuk wisata olahraga arum jeram.
“oh, seeur oge anu arum jeram didieu, biasa namah dongkap ti surabaya, sareng ti sukabumi” , ujar eman salah seorang pemuda pemelihara alat-alat arum jeram. Ditanya masalah kocek yang harus dikeluarkan, dia pun menjawab “sewa sahiji set arum jeram ieu teh sekitar Rp 500.000 kapasitas 6 orang 1 pemandu..”ungkapnya jelas.
Alam telah menyediakan berbagai tempat yang menarik di dunia ini. Alangkah Sangat di sayangkan jika potensi ini pada akhirnya tidak dapat di kembangkan oleh pemda dan masyarakat sebagai aset serta pemasukan suatu daerah. (Nurlailla kamil)

Seorang penulis yang telah berkecimpung dalam bidang ini selama lebih dari lima tahun.
Saat ini kegiatan saya tidak hanya sekedar menulis, tapi juga sedang mendalami tentang SEO (Search Engine Optimization) serta membangun situs ini agar bisa lebih berkembang.