Site icon Denai Cahaya Malam

Rumah Impian Ibu


Rabu, 07 Maret 2015
Aku berhasil meraih gelarku sebagai sarjana Sastra Inggris. Di jurusan Bahasa dan sastra inggris di sebuah universitas negeri di bandung. Dengan susah payah aku mendapatkan gelarku ini.
Jika menoleh kebelakang begitu terjal jalan yang harus aku lalui setelah selama delapan tahun ditinggal pergi oleh orang tuaku. Kini aku dengan dua orang kakak laki-lakiku Bang Bams dan bang Adi serta Teteh Eka. Adalah sosok kakak-kakak yang baik hati dengan kerja kerasnya mereka membiayai hidupku dan mengambil alih peran dari ayah dan ibu. Sementara Teteh, dia juga yang mengurus keperluanku dirumah. Dia adalah sosok kakak yang mampu menggantikan sebagian peran ibu dirumah. Sementra aku sendiri adalah Alan, begitulah ayah memanggil nama kecilku. Nama yang selalu membuatku senang ketika ayah memanggilku manja dengan nama itu. Dia begitu menyayangiku maklumlah karena aku bungsu. Dan ayah tak pernah malu mengungkapkan rasa sayangnya itu kepada setiap putra dan putrinya.
Namun, bencana datang menghampiri keluarga kami yang kecil ini. Keluarga kami yang hanya nelayan yang hidup sederhana dipinggir pantai Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Saat itu 8 tahun silam, ayah seperti biasa mencari ikan dilaut dan ibu sedang memasak nasi di dapur. Cuaca kala itu sangatlah mendung. Namun, ayah memaksakan diri untuk pergi kelaut mencari ikan untuk kami dirumah. Angin bergemuruh kala itu dan badai tak bisa terelakkan lagi. Ayah terbawa arus ombak yang begitu besar, tongkang yang dinaikinya hancur terhempas batu karang dan ayah terhayut. Tiga hari pencarian, jasad ayahpun ditemukan dipesisir pantai di daerah yang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Namun, yang kudapatkan hanyalah jasad ayah yang mulai terbujur kaku, berlumur darah dari mulai keningnya sampai wajahnya yang tirus itu hancur, babak belur karena hempasan ombak yang memabwa jasad ayah ketepian batu karang.
***
Tak lama setahun berselang, ibu yang sejak ayah meninggal begitu terpukul hati dan pikirannya mulai melemah raganya. Tubuhnya yang memang kurus itu semakin tambah kurus saja. Hingga akhirnya ibu mengalami penyakit maag akut, karena jarang sekali makan dan lebih sering melamun memikirkan kepergian ayah untuk selamanya. Hingga suatu hari perut ibu merasakan kesakitan yang sangat dan memintaku untuk mengantar ke rumah sakit. Akupun memboyong tubuh ibu yang begitu kurus itu ke puskesmas terdekat. Dan yang ku dapati bahwa ibu harus segera di operasi untuk pengangkatan bagian ususnya yang mulai membusuk.
Pikiranku melayang, “uang dari mana aku harus mengoperasi ibu?” lirihku didalam hati. Akupun segera pergi kepada abang-abangku yang hanya sebagai kuli bangunan. Aku mengabarkan padanya bahwa maag ibu semakin kronis dan harus segera di opersi.
Tak lama kami bertiga aku, bang bams dan bang adi menghampiri ibu yang berbaring di rumah sakit berserta teteh yang selalu setia menemaninya. Kamipun mulai membujuk ibu untuk bersedia melakukan operasi hari itu juga. Namun, ibu enggan melakukan itu, dia tau kami tidak bisa membayar biaya operasi yang begitu besar. Hingga akhirnya sampai  dimalam harinya aku dan teteh masih setia berada diatas ranjang tidur ibu, mendengarkan semua ceritanya dan sekaligus terus membujuknya agar besok mau untuk diopersi.
Berharap besok masih ada kesempatan
***
Exit mobile version